Oleh: Ari Ariyandi Gunawan
Saya sedikit melakukan obeservasi
terhadap peserta kartu Pra Kerja secara online. Saya
menemukan beberapa masalah yang harus segera dievaluasi dalam implementasi
program pemerintah kartu Pra Kerja.
Masalah yang pertama, ternyata
banyak peserta kartu Pra Kerja yang masih awam dunia kerja dan profesionalisme. Saya sempat kaget
juga ketika ada peserta kartu Pra Kerja yang ingin menjadi Youtuber sehingga uang
dari Kartu Pra Kerja itu digunakan untuk biaya kursus tentang penggunaan Youtube
di salah satu situs kursus online.
Padahal situs Youtube yang standar itu bukanlah media bisnis seperti situs marketplace atau online shop. Youtube itu media sosial. Karena itu akan lebih tepat bila digunakan untuk pengembangan Corporate Social Responsibility (CSR). Youtube lebih tepat bila digunakan untuk membangun benefid, bukan profit bisnis. Sehingga Youtuber belum pantas dijadikan sebagai pekerjaan profesional.
Kalaupun ada istilah
Youtuber Profesional karena fokus bekerja dengan keahliannya sebagai Youtuber ,
itu bisa-bisa saja. Tapi selama ini, Youtuber belum diakui sebagai profesi. Karena
menjadi Youtuber tidak perlu pendidikan keahlian khusus, tidak ada kode etik
profesi Youtuber, tidak ada lembaga profesi Youtuber, dan tidak ada satupun lembaga
representatif yang penguji kompetensi Youtuber.
Youtube, Instagram,
Facebook, Twitter, itu tergolong sebagai media sosial, bukan media bisnis. Suatu
kesalahan bila peserta kartu Pra Kerja, menggunakan uangnya untuk kursus-kursus
media sosial. Lebih baik bila digunakan untuk mengikuti kursus-kursus keahlian
marketing. Misalnya mengikuti kursus berdagang di Marketplace atau Online Shop,
itu bisa dianggap sebagai merintis keahlian
untuk profesi marketing.
Baca: Konsep Sekolah Daring
Masalah yang kedua,
saya menemukan ada kursus yang semestinya digratiskan, malah dikomersilkan.
Misalnya kursus membuat proposal, kursus
membuat curriculum vitae (CV), membuat lamaran pekerjaan, dan lain-lain. Itu
bukan pra kerja. Karena itu sekedar kemampuan yang semestinya telah ada di luar
persiapan kerja.
Masalah yang ketiga, metode
pembelajaran dan rekrutmen untuk mentor kursus Pra Kerja, sepertinya tidak
ditangani secara profesional. Saya
pernah mengamati beberapa video kursus pra kerja, banyak mentor yang hanya
fokus kepada teks presentasi saja, tidak
ada pedagogiknya, bahkan tidak ada ekspresi mengajar sama sekali. Mereka seperti
sedang mengejar target mengajar saja. Mereka seperti tidak pernah
mengikuti supervisi guru sebelumnya.
Masalah keempat,
ternyata media-media pembelajarannya masih sangat kurang, harusnya selain video, ada media pembelajaran berbasis teks dan audio. Dan untuk ujiannya seharusnya menggunakan assessment komprehensif berbasis kompetensi,
bukan kuis berbasis pengetahuan.
Saya yakin bila tidak
ada evaluasi, implementasi program pemerintah kartu Pra Kerja, tidak akan
menghasilkan apapun. Akibatnya, para peserta kartu pra kerja, akan tetap kesulitan
mendapatkan pekerjaan.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar